Wayang, khususnya wayang kulit yang kita bahas kali ini merupakan sebuah tradisi budaya asal pulau Jawa yang lahir bahkan sebelum Hindu datang, sekira tahun 1500 sebelum Masehi. Dalam perjalanannya, Jogja juga teridentifikasi sebagai daerah yang mengadopsi wayang kulit sebagai seni wayang Jogja.
Selain Jogja, sejatinya Solo juga mengadopsi seni wayang kulit yang populer. Hanya saja memang popularitas seni wayang Jogja jauh lebih baik jika dibandingkan dengan wayang Solo. Hal yang kemudian banyak orang pertanyakan adalah apa sih beda antara seni wayang Jogja dengan wayang Solo?
Seni Wayang Jogja Bedanya dengan Wayang Solo
1. Bentuk wayang
Seni wayang Jogja dengan wayang Solo memiliki perbedaan pada bentuknya. Wayang Solo memiliki postur yang lebih ramping dan lebih jangkung jika dibandingkan dengan wayang Jogja.
Kemudian pada bagian siten wayang Solo (bagian penghubung kaki depan dan belakang) memiliki lebih dari satu warna. Sementara untuk wayang Jogja, memiliki postur yang lebih kekar dengan bahu dan wajah yang lebih menunduk.
Pada area kaki, kaki wayang Jogja seperti orang sedang menari yang memiliki langkah lebar dan posisi kaki belakangnya berjingkat atau berjinjit. Kemudian untuk kepala dari wayang Jogja tampak lebih besar, pundaknya lebih tinggi, dan roman mukanya lebih sinis. Sementara siten – sitennya berwarna merah dan polos.
2. Gagrak wayang
Wayang Jogja gagraknya memiliki dua mata dan memiliki pundak yang lebih rendah sehingga wayang Jogja terkesan menunduk. Sementara pada gagrak Solo memiliki bentuk gagrak yang lebih tegak dan memiliki mata hanya satu.
3. Wajah wayang
Wayang Solo memiliki wajah dengan guratan kumis tanpa diwarnai. Sementara pada wayang Jogja kita akan melihat warna kumisnya diwarnai merah. Kemudian jenggot wayang Solo hanya terdapat di bagian bawah dagu dan kumis wayang Jogja mencapai sampai pangkal telinganya jadi lebih lebar.
Seni wayang Jogja dengan wayang Solo memiliki perbedaan pada bentuknya. Wayang Solo memiliki postur yang lebih ramping dan lebih jangkung jika dibandingkan dengan wayang Jogja.
Kemudian pada bagian siten wayang Solo (bagian penghubung kaki depan dan belakang) memiliki lebih dari satu warna. Sementara untuk wayang Jogja, memiliki postur yang lebih kekar dengan bahu dan wajah yang lebih menunduk.
Pada area kaki, kaki wayang Jogja seperti orang sedang menari yang memiliki langkah lebar dan posisi kaki belakangnya berjingkat atau berjinjit. Kemudian untuk kepala dari wayang Jogja tampak lebih besar, pundaknya lebih tinggi, dan roman mukanya lebih sinis. Sementara siten – sitennya berwarna merah dan polos.
2. Gagrak wayang
Wayang Jogja gagraknya memiliki dua mata dan memiliki pundak yang lebih rendah sehingga wayang Jogja terkesan menunduk. Sementara pada gagrak Solo memiliki bentuk gagrak yang lebih tegak dan memiliki mata hanya satu.
3. Wajah wayang
Wayang Solo memiliki wajah dengan guratan kumis tanpa diwarnai. Sementara pada wayang Jogja kita akan melihat warna kumisnya diwarnai merah. Kemudian jenggot wayang Solo hanya terdapat di bagian bawah dagu dan kumis wayang Jogja mencapai sampai pangkal telinganya jadi lebih lebar.
4. Hiasan pada wayang
Pada wayang Solo, bokongannya (bagian belakang wayang) dihias dengan pakaian dan bagian bawah pakaian tersebut menggambarkan kedudukan tokoh wayang seperti Raja, Nakula dan Sadewa. Kemudian di area sembuliyan – kerisan atau ikat pinggang tokoh wayang diberi hiasan berupa bunga yang menjuntai.
Sementara pada seni wayang Jogja, hiasan tersebut tidak akan kita temukan. Wayang Jogja lebih polos namun tetap memiliki lukisan unsur Jawa yang estetik dan khas.
5. Perbedaan penggambaran tokoh
Pada wayang Solo, tokoh Dewi Kunti menggunakan kain yang dibuat menjuntai ke belakang, sementara pada wayang Jogja menggunakan kain yang dibuat menjuntai ke depan.Sementara pada seni wayang Jogja, hiasan tersebut tidak akan kita temukan. Wayang Jogja lebih polos namun tetap memiliki lukisan unsur Jawa yang estetik dan khas.
5. Perbedaan penggambaran tokoh
Perbedaan penggambaran tokoh juga ada pada tokoh Gandamana dan Antareja. Pada wayang Solo, tokoh Gandamana dan Antareja tersebut tidak menggunakan praba. Sementara pada wayang Jogja, tokoh Gandamana dan Antareja-nya menggunakan praba.
Sementara untuk tokoh Jayadrata dan Kartamarma, tokoh tersebut pada wayang Solo menggunakan praba sementara pada wayang Jogja tidak menggunakan praba.
6. Sumber cerita
Cerita pada seni wayang Solo diambil dari rujukan Serat Pustakaraya yang merupakan karya dari Ranggawarsita. Sementara pada seni wayang Jogja, pusat atau sumber ceritanya diambil dari Serat Purwakandha yang merupakan karya HB V.
Karena itu, jika ada perbedaan sedikit cerita atau alur dari pagelaran seni wayang Jogja dan wayang Solo adalah lumrah karena sumbernya pun berbeda.
7. Komposisi pewayangan atau pedalangan
Pedalangan atau pewayangan pada wayang Solo biasanya lebih menitikberatkan pada sabetan atau ekspresi dalang lewat gerak wayang dibandingkan storytellingnya. Karena itu adegan perang ketika wayang kulit dipertunjukkan dibuat lebih menonjol.
Hal tersebut berkaitan dengan proporsi tubuh wayang kulit Solo yang lebih proporsional sehingga jauh lebih mudah dimainkan dengan gerak tak terbatas jika dibandingkan wayang Jogja. Karena itu porsi dialog yang dipertontonkan pada wayang kulit Solo lebih sedikit.
Sementara pada wayang Jogja karena mengutamakan storytelling daripada sabetan, maka ceritanya lebih banyak. Penonton akan mendengar cerita seperti mendengarkan podcast atau mendengar siaran radio yang dapat dinikmati bahkan hanya dengan mendengarkan dalangnya saja. Namun sabetannya memang sangat terbatas.
Beda inilah yang sebenarnya sangat menonjol antara seni wayang Jogja dan wayang kulit Solo dibandingkan perbedaan lainnya.
8. Penokohan
Penokohan dalam wayang Jogja dan Solo juga berbeda. Pada pewayangan Solo, kita tidak akan mendengar tokoh Raden Antasena disebut karena memang tidak ada. Sementara dalam pewayangan Jogja, Raden Antasena disebut sebagai anak dari Raden Werkudara (Bima) dan Dewi Urang Ayu.
Siapa itu Raden Werkudara (Bima)?
Bima merupakan bagian dari Pandawa yang dalam wayang Jogja memiliki tiga istri, salah satunya adalah Dewi Urang Ayu. Sementara dua istri lainnya yaitu Nagini dan Arimbi.
Sementara untuk putranya, pada wayang Jogja dan Solo, Nagini sama – sama memiliki putra Raden Antareja, sementara Arimbi memiliki putra Raden Gatotkaca. Akan tetapi untuk Dewi Urang Ayu yang putranya adalah Raden Antasena hanya disebut pada wayang Jogja. Pada wayang Solo, Raden Antasena disebut sebagai nama lain dari Raden Antareja.
Sama seperti seni pertunjukan lainnya yang pasti memiliki nilai luhur yang terkandung dibaliknya, wayang kulit Jogja juga demikian. Apa sajakah nilai – nilai luhur yang bisa didapatkan dari pertunjukan seni wayang Jogja?
Sementara untuk tokoh Jayadrata dan Kartamarma, tokoh tersebut pada wayang Solo menggunakan praba sementara pada wayang Jogja tidak menggunakan praba.
6. Sumber cerita
Cerita pada seni wayang Solo diambil dari rujukan Serat Pustakaraya yang merupakan karya dari Ranggawarsita. Sementara pada seni wayang Jogja, pusat atau sumber ceritanya diambil dari Serat Purwakandha yang merupakan karya HB V.
Karena itu, jika ada perbedaan sedikit cerita atau alur dari pagelaran seni wayang Jogja dan wayang Solo adalah lumrah karena sumbernya pun berbeda.
7. Komposisi pewayangan atau pedalangan
Pedalangan atau pewayangan pada wayang Solo biasanya lebih menitikberatkan pada sabetan atau ekspresi dalang lewat gerak wayang dibandingkan storytellingnya. Karena itu adegan perang ketika wayang kulit dipertunjukkan dibuat lebih menonjol.
Hal tersebut berkaitan dengan proporsi tubuh wayang kulit Solo yang lebih proporsional sehingga jauh lebih mudah dimainkan dengan gerak tak terbatas jika dibandingkan wayang Jogja. Karena itu porsi dialog yang dipertontonkan pada wayang kulit Solo lebih sedikit.
Sementara pada wayang Jogja karena mengutamakan storytelling daripada sabetan, maka ceritanya lebih banyak. Penonton akan mendengar cerita seperti mendengarkan podcast atau mendengar siaran radio yang dapat dinikmati bahkan hanya dengan mendengarkan dalangnya saja. Namun sabetannya memang sangat terbatas.
Beda inilah yang sebenarnya sangat menonjol antara seni wayang Jogja dan wayang kulit Solo dibandingkan perbedaan lainnya.
8. Penokohan
Penokohan dalam wayang Jogja dan Solo juga berbeda. Pada pewayangan Solo, kita tidak akan mendengar tokoh Raden Antasena disebut karena memang tidak ada. Sementara dalam pewayangan Jogja, Raden Antasena disebut sebagai anak dari Raden Werkudara (Bima) dan Dewi Urang Ayu.
Siapa itu Raden Werkudara (Bima)?
Bima merupakan bagian dari Pandawa yang dalam wayang Jogja memiliki tiga istri, salah satunya adalah Dewi Urang Ayu. Sementara dua istri lainnya yaitu Nagini dan Arimbi.
Sementara untuk putranya, pada wayang Jogja dan Solo, Nagini sama – sama memiliki putra Raden Antareja, sementara Arimbi memiliki putra Raden Gatotkaca. Akan tetapi untuk Dewi Urang Ayu yang putranya adalah Raden Antasena hanya disebut pada wayang Jogja. Pada wayang Solo, Raden Antasena disebut sebagai nama lain dari Raden Antareja.
Sama seperti seni pertunjukan lainnya yang pasti memiliki nilai luhur yang terkandung dibaliknya, wayang kulit Jogja juga demikian. Apa sajakah nilai – nilai luhur yang bisa didapatkan dari pertunjukan seni wayang Jogja?
Nilai – Nilai Luhur Dibalik Wayang Kulit Jogja
1. Memiliki nilai agama
Nilai luhur yang pertama dapat kita pelajari dibalik pagelaran wayang kulit termasuk seni wayang kulit Jogja yang ditampilkan adalah nilai agama. Nilai agama Hindu dan Budha yang merupakan agama masyarakat Jawa di masa lalu diceritakan dengan sangat agamis, baik, dan penuh pesan moral pada pagelaran ini.
Nilai luhur yang pertama dapat kita pelajari dibalik pagelaran wayang kulit termasuk seni wayang kulit Jogja yang ditampilkan adalah nilai agama. Nilai agama Hindu dan Budha yang merupakan agama masyarakat Jawa di masa lalu diceritakan dengan sangat agamis, baik, dan penuh pesan moral pada pagelaran ini.
2. Nilai moral
Wayang kulit Jogja juga memiliki nilai moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup untuk masyarakat. Adapun nilai moral dari wayang kulit Jogja yang bisa kita temukan dengan menonton pagelaran seni ini di antaranya :
- Nilai keadilan
- Nilai kejujuran
- Nilai keberanian
- Nilai kasih sayang
Dalam pertunjukan seni wayang, nilai sosial yang ditularkan dalam cerita – cerita wayang yang sedang berlangsung di antaranya :
Nilai keakuran dalam berhubungan antar keluarga atau bahkan bersaudara
- Nilai toleransi
- Nilai gotong royong
- Nilai kerjasama
Untuk kalian yang tertarik menonton seni wayang Jogja dan sedang berada di Jogja, kalian bisa datang ke Museum Sonobudoyo. Biasanya, pagelaran seni wayang Jogja di Museum Sonobudoyo diselenggarakan dalam kurun waktu 2 jam dan dengan tarif 20 ribu rupiah.
Ya, waktunya memang hanya 2 jam tidak semalam suntuk seperti pagelaran wayang pada zaman dahulu. Namun tenang saja, kepuasan dan nilai – nilai moral sampai nilai sosial yang ditularkan kepada penonton tetap akan sampai dan dapat dinikmati.
Selain di Museum Sonobudoyo, pertunjukan wayang kulit juga dipertunjukkan sebagai hiburan di galeri toko dan oleh – oleh Hamzah Batik.
Demikian informasi tentang seni wayang Jogja khususnya wayang kulit yang kita dapat bahas kali ini. Semoga informasi di atas semakin menambah pengetahuan budaya kita semua. Yuk pelajari lebih dekat budaya Jogja bersama wargajogja.com.
Ya, waktunya memang hanya 2 jam tidak semalam suntuk seperti pagelaran wayang pada zaman dahulu. Namun tenang saja, kepuasan dan nilai – nilai moral sampai nilai sosial yang ditularkan kepada penonton tetap akan sampai dan dapat dinikmati.
Selain di Museum Sonobudoyo, pertunjukan wayang kulit juga dipertunjukkan sebagai hiburan di galeri toko dan oleh – oleh Hamzah Batik.
Demikian informasi tentang seni wayang Jogja khususnya wayang kulit yang kita dapat bahas kali ini. Semoga informasi di atas semakin menambah pengetahuan budaya kita semua. Yuk pelajari lebih dekat budaya Jogja bersama wargajogja.com.